a lone week.

Pagi hari. Memang bukan waktu yang tepat untuk menulis tentang hal-hal yang melankolis. Tapi, apa daya diri ini  yang tak dapat mengontrol suasana hati?

Hari ini sudah genap seminggu semenjak kamu melangkah pergi, setuju untuk berhenti memerankan sosok seseorang yang spesial dalam hidupku.  Ya, ini kemauanku. Aku tahu apa yang aku inginkan. Dan aku seharusnya tidak menyesali itu.

Rasanya seperti kehilangan salah satu tokoh utama dalam teater kehidupanku yang penuh dengan drama semu. Kamu itu aktor yang hebat, kau tahu? Kamu terlalu fokus dengan penampilanmu, demi membuat sang produser puas akan pertunjukan yang diharapkannya. Terkadang aku tidak bisa membedakan saat dimana kamu sedang berakting atau saat kamu menjadi dirimu sendiri. Aku tidak pandai memahami dirimu, kamu lebih sulit dibandingkan soal matematika yang aku benci. Bedanya, aku tidak bisa membenci dirimu, walau aku menginginkannya, walau aku sudah berusaha untuk itu. 

Kamu itu merah. Kamu tertarik denganku karena aku ini biru. Kamu meghampiriku, dan seketika aku menjadi ungu. Dan kamu memilih pergi karena menurutmu ungu bukanlah warna untukmu. Semenjak itu duniaku menjadi hitam dan putih. Kamu yang pernah memberi warna, kembali datang menjadi abu-abu dalam dunia baruku. Setidaknya hal itu tidak terlalu buruk. Kamu kembali menjadi satu-satunya warna dalam hitam putih kehidupanku, dan kupikir abu-abu menjadi warna favoritku saat itu.

Semua yang dia inginkan adalah kamu. Dia memberimu segalanya, dia memberimu jiwanya, pikirannya, rahasianya, dan bahkan dia memberitahumu tentang hal-hal yang tidak pernah dia ceritakan sebelumnya ke siapapun. Dia bahkan mempercayaimu sepenuh hatinya. Dia memang pernah bilang tidak akan mempercayai siapapun kecuali dirinya sendiri, tetapi dia menganggapmu berbeda. Dia pikir kamulah orang yang tepat.
Hatinya sudah pernah hancur berkali-kali, bersama dengan semua harapan palsu, kekosongan, dan semua yang telah direnggut darinya. Dia masih mengingat semua hal yang pernah kau janjikan padanya dan semua hal yang pernah kau katakan padanya. Dia masih mengingat semua waktu yang kau habiskan bersamanya, caramu memeluk dan menciumnya, bahkan saat pertama kamu mengatakan kamu mencintainya.
Kamu bilang kamu ingin menikahinya dan menghabiskan sisa hidupmu bersamanya. Kamu bilang kamu hanya menginginkan dirinya dan bukan siapapun. Kamu berjanji kalau kamu tidak akan menyakitinya lagi dan kamu bilang kamu tidak akan melakukan apa yang telah kamu lakukan sebelumnya terhadap dirinya. Dan dia mempercayaimu. Dia kembali percaya padamu dan semua kebohonganmu sekali lagi. Dan sekarang dia tertinggal sendirian bersama janji-janji yang telah kau ingkari, kata-kata yang dulu berarti segalanya untuk dirinya, kejadian-kejadian yang tak bisa dilupakannya... Dan kenangan. Dia sangat rapuh, tetapi dia memilih untuk menyembunyikannya. Dia tidak  akan membiarkan seorangpun kembali merusak dinding yang pernah dia buat sebelumnya, dinding yang pernah kamu hancurkan secara perlahan. Dia masih menginginkanmu, tapi dia tidak lagi membutuhkanmu. 

Terasa agak menyedihkan, bukan? Bahwa seseorang dapat menyakitimu sedemikian rupa hingga kamu harus menulis tentangnya. Menulis memang pelarian terbaik bagiku. Kau bisa menumpahkan segala perasaan, emosi, dan pikiran ke dalam serangkaian kata-kata. Kamu ingin orang lain tahu dan mengerti perasaanmu, ingin tahu kalau banyak orang di luar sana yang mungkin merasakan hal yang sama denganmu. Kamu ingin tahu kalau kamu tidak sendirian. 

Memang sulit, mencoba untuk tetap kuat untuk semua orang di sekitarmu, dengan senyum pahit yang seketika menghilang ketika kau sendirian. Berat untuk membunuh sesuatu yang ada di dalam, sesuatu yang memakanmu hidup-hidup, dan tak ada yang dapat kau lakukan tentang hal itu. Tak peduli seberapa berat kamu mencoba, perasaan itu tak menghilang begitu saja. Aku tahu ini tak akan mudah, tapi aku tahu bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.



Semoga.




Komentar

Postingan Populer