Sempurna


Sering saya dibuat cukup kesal dengan datangnya pesan bertubi-tubi.  Pesan yang sungguh mulia soal harus menjadi bijak, rendah hati, sabar, memaafkan, dan sejuta kebaikan yang harus saya jalani.  Saya kesal bukan kepada  manusia-manusia yang rela membuang waktunya untuk memberi secercah harapan dan kekuatan kepada saya melalui pesan yang dikirim.
Saya kesal isi pesan itu malah membuat saya seperti sedang dicuci otaknya untuk menjadikan saya yang baru, yang nihil kenegatifan.  Saya merasa saya harus sempurna untuk menjadi manusia.  Tetapi bagaimana itu bisa terjadi kalau sejak sekolah dasar saya sudah diajari peribahasa “tak ada gading yang tak retak”?  Mengapa pribahasa itu muncul?  Karena yang membuatnya tahu pasti bahwa hidup manusia tak bias sempurna.
Teman saya pernah berpendapat ketika saya menceritakan hal ini. “Sempurna itu maksudnya meminimalkan kesalahan”, begitu katanya.  Jadi sempurna itu tetap ada salahnya walaupun hanya minimal. Padahal yang saya tahu sempurna itu tidak bercacat.
Di salah satu bait dalam lagunya “Born This Way”, Lady Gaga bernyanyi demikian “I’m beautiful in my way cause God makes no mistakes”.  Nah, kalau tuhan itu tak pernah membuat kesalahan didalam menciptakan manusia, apakah itu yang disebut sempurna? Saya percaya bahwa anda akan menyatakan “Tentunya!”.
Kalau tentunya demikian, maka sempurna itu adalah kalau saya tak bisa benar sesekali dan sekali-kalinya benar?  Saya sama sekali tidak tahu, apakah kalau manusia yang lahir dengan kecacatan pada fisik, memiliki kekurangan dalam segi ekonomi dalam hidupnya, akan disebut sempurna? Atau kah akan disebut kekeliruan? Saya sekali lagi yakin pasti anda akan mengatakan bahwa tuhan tidak pernah keliru dan akan selalu sempurna.
Pertanyaannya kemudian, apakah sempurna di mata Tuhan dan di mata manusia itu berbeda?  Kalau Tuhan mau menerima saya yang memiliki sisi kenegatifan sebagai bagian dari kesempurnaan, tetapi manusia menihilkan sisi negatif itu untuk sempurna.  Kalau begitu mana yang benar?  Lalu mengapa teman-teman saya rela membuang waktunya untuk mengirimkan pesan yang menyarankan untuk hidup tanpa cela dan kesalahan sama sekali?
            Jadi kalau sekarang saya harus hidup tanpa cela, masikah saya disebut manusia?  Setahu saya positif itu bisa terjadi jika negatif ada, seperti hal nya hukum sebab akibat. Kalau saya berperilaku tidak senonoh, bukankah yang tidak senonoh bisa menguliahi dan mengirimkan pesan bijak seperti carita diatas?  Dan mereka akan menggemukan deposito surgawi mereka hanya gara-gara ada manusia seperti saya yang tidak senonoh itu.
            Saya bertanya sekali lagi apakah makna sempurna sebagai manusia itu?  Menurut saya sempurna adalah menerima situasi dalam sendiri.  Menerima kalau saya tidak bisa selalu rendah hati, tak bisa senantiasa memaafkan, tak bisa setiap saat berfikir positif, tak bisa setia setiap saat, tak bisa kuat selamanya. Maka kita tidak perlu menjadi sempurna apabila dengan sempurna kita merubah diri kita yang sebenarnya. Jadilah diri sendiri yang bisa menyempurnakan hidup orang lain.

Komentar

Postingan Populer